Maaf
sebelumnya, contoh Kritik Sastra di bawah ini adalah hasil copy-an yang
saya lupa sumbernya. Sebab banyak sumber yang memiliki contoh karya
tulis di bawah ini. Akhir zaman.......
Tugas Bahasa indonesia kritik sastra
Anggota:
- Arghi naufal R
- Rooseno rahman D
Kata Sebagai Unsur Paling Esensial dalam Sebuah Sajak
Oleh: Titon
Rahmawan
Budi Darma dalam
pengantar atas kumpulan cerpennya yang berjudul ‘Orang-Orang Bloomington’
menyatakan bahwa unsur utama yang paling berperanan dalam sebuah cerita pendek
adalah tema, namun apakah tema memegang peranan yang sama esensialnya dalam
sebuah sajak? Pertanyaan tersebut cukup sering dilontarkan oleh orang awam yang
berminat terhadap karya sastra dan mereka yang ingin mendalami sajak pada
khususnya, namun ironisnya pertanyaan itu belum tentu dapat dijawab oleh orang
yang mengaku dirinya sebagai seorang penyair sekali pun. Mengapa muncul hal
yang demikian adalah dikarenakan oleh begitu banyaknya calon penyair yang sibuk
dengan pikirannya sendiri-sendiri. Para calon penyair itu terlampau sibuk dalam
mengolah gagasan-gagasan untuk menjadikan karyanya sebagai sebuah karya yang
fenomenal, sehingga terbebani oleh sejumlah misi untuk menyampaikan ‘sesuatu’
kepada pembacanya. Sesuatu itu bisa berupa pesan moral, khotbah, protes
politik, kajian filsafat, kritik sosial, masalah cinta, masalah keluarga, atau
laporan jurnalistik dengan berbagai gaya ungkap, akan tetapi si penyair lupa
bahwa sesunguhnya ia tengah menulis sebuah sajak dan bukannya propaganda
politik, pamflet, teks iklan, surat cinta atau berita koran. Banyak calon
penyair lupa atau tidak tahu bahwa esensi sebuah sajak sesungguhnya bukan pada
masalah tema atau gagasan tapi lebih pada kata-kata, sebagaimana ditegaskan
oleh Sapardi Djoko Damono salah seorang penyair terkemuka kita bahwa kata-kata
adalah segala-galanya dalam puisi.
Menurut Marjorie
Boulton sebagaimana di kutip oleh Prof. M. Atar Semi unsur-unsur pembentuk
sajak dapat di lihat dari dua segi yaitu dari bentuk fisik dan bentuk mental.
Bentuk fisik itu meliputi tipografi, diksi, irama, intonasi, enjambemen,
repetisi dan berbagai perangkat bahasa lainnya, sementara bentuk mental
meliputi tema, asosiasi, simbol, pencitraan, dan emosi. Pembahasan atas setiap
unsur-unsur dalam sajak adalah hal yang sangat rumit terutama bila kita tidak
melihatnya dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang lain, karena sebuah sajak
merupakan sebuah totalitas yang unikum, akan tetapi kesadaran seorang penyair
atas keberadaan kata sebagai unsur yang paling esensial dalam penulisan sajak
akan membantu diri si penyair dalam memahami esensi dari proses kreatif
penulisan sajak itu sendiri, sekali pun tentu saja seorang penyair dituntut
pula memiliki pemahaman yang sama mendalamnya atas unsur-unsur sajak yang lain
sehingga ia mampu melahirkan sajak yang bagus dan berhasil.
Perlu dipahami
pula bahwa kata-kata di dalam sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda
dengan teks dalam bentuk yang lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat
esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga
dituntut untuk mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke
dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan
intuisi, imajinasi, dan sintesis sebagaimana dapat kita lihat dari pendekatan
puisi itu sendiri bertitik tolak dari bentuk organik puisi menurut Herbert Read
yang di kutip oleh Prof. M. Atar Semi yang menyampaikan bahwa puisi adalah
‘predominantly intuitive, imaginative, and synthetic’ sementara pilihan
kata-kata dalam prosa lebih mengedepankan logika, bersifat konstruktif dan
analitis.
Lebih lanjut
Atar Semi menyampaikan bahwa intuisi di dalam sajak adalah mengacu pada
kemampuan sajak itu untuk menyatakan kebenaran yang dapat diterima secara
universal, jadi sajak yang baik mutlak mengandung nilai-nilai kebenaran
universal (universal truth). Sementara imajinasi dalam sajak adalah merupakan
upaya kreatif untuk memperkuat kesan suatu pengalaman puitik yang hendak
disampaikan oleh seorang penyair, dengan kata lain proses penulisan sajak
sepenuhnya harus lahir melalui sebuah proses kreatif. Selanjutnya Atar Semi menyatakan
bahwa sajak adalah merupakan sebuah sintesis yang mengandung maksud bahwa
kata-kata dalam sajak haruslah memiliki keunikan yang tidak langsung mengacu
pada sesuatu yang diungkapkannya tapi mengandung pengertian yang luas dan mampu
menimbulkan kesan rasa dan daya anggap yang jauh lebih mendalam.
Sapardi Djoko
Damono dalam esainya ‘Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan’ menegaskan
pula bahwa kata-kata dalam sajak berfungsi sebagai jembatan penghubung antara
gagasan penyair dengan lentik penafsiran pembacanya oleh karena itu kata-kata
dalam sajak harus mampu membentangkan panorama keindahan yang ingin dilukiskan
lewat intuisi si penyair. Kekuatan kata-kata tidak semata-mata dalam
kemampuannya mengkomunikasikan diri tapi terlebih pada kemampuan menciptakan
imaji dan impresi yang akan meninggalkan bekas di dalam diri pembacanya,
sehingga kesan itu tetap hidup bergema dalam pikiran, bergetar dalam perasaan,
yang menyebabkan pembaca tersentuh oleh rasa haru, sedih, atau pun gembira
sesuai impresi sajak.
Hal inilah yang
sering luput dari perhatian, bahwa kata-kata dalam percakapan sehari-hari yang
bermakna denotatif dapat di pakai begitu saja dalam menulis sebuah sajak
sehingga impresi yang muncul adalah sebuah realitas yang naif terlalu apa
adanya, tak lebih daripada berita di surat kabar. Untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai hal tersebut dapat kita lihat pada sajak karya Theora Agatha sebagai
berikut:
BERITA ATAS NAMA
Televisi bukan
lagi saluran mimpi, tapi sudah jadi kegeraman menyesak dada, dan koran bukan
semata sumber berita tapi lebih banyak menjual kepedihan.
Coba lihat dan
dengarkan;
Berita pagi
pukul 6 – atas nama cinta seorang wanita kehilangan nyawa
Berita pagi
pukul 7 – atas nama harta 2 orang bersaudara saling aniaya
hingga sampai
ajalnya
Breaking news
pukul 9 – atas nama dendam 1 keluarga tewas ditikam
Breaking news
pukul 11 – atas nama solidaritas 10 buruh tewas
dalam aksi demo
yang panas
Berita siang
pukul 12 – atas nama demokrasi 2 polisi binasa,
8 mahasiswa
terluka,
15 orang lagi
tak ketahuan rimbanya
Berita kriminal
pukul 20 – atas nama setan seorang wanita tewas dianiaya
dan dimakan
dagingnya
Berita kriminal
pukul 20 – atas nama kemelaratan seorang bayi dibuang ke
tong sampah oleh
orang yang tak mau mengaku
sebagai ibunya
Headline news
pukul 21 – atas nama kemanusiaan 500,000 orang dipaksa
mengungsi dari
negerinya sendiri, tak terhitung
yang tewas
karena lapar dan peperangan
Headline news
pukul 21 – atas nama tuhan 80 orang tewas dalam ledakan
1,000 orang
tewas dalam kebakaran
dan lebih
1,000,000 orang tewas oleh pembantaian
Atas nama apa
lagi kita musti meratap dan menangis?
Jakarta, April
2000
Sajak di atas
tak ubahnya sebuah laporan jurnalisme, yang sekali pun berupaya menggambarkan
realitas dengan gaya ironis atas kondisi sosial masyarakat namun ia hanya
berhenti hanya sebagai sebuah protes namun gagal sebagai sebuah sajak, karena
tidak mampu menciptakan imaji dan impresi yang mendalam. Karya di atas tak
lebih dari sekedar teks yang cukup dibaca sekali saja dan tidak meninggalkan
kesan apa pun dalam diri pembaca, karena tak kita rasakan adanya misteri yang
menyelubunginya, semua kata tampil demikian apa adanya. Ia hanya menyentuh
bagian permukaan kesadaran kita, hanya berusaha menggugah emosi sejenak tanpa menukik
lebih jauh ke dalam hati, karena sajak semacam itu hanya lebih menekankan aspek
agitasi, tidak begitu orisinil dalam pengungkapan dan pengucapan, yaitu sebatas
kutipan berita surat kabar atau berita televisi yang tampil terlalu apa adanya
(naif). Pilihan kata-katanya pun terlampau klise karena banyak mengacu pada
pendapat masyarakat umum. Tidak kita rasakan adanya sebuah proses kreatif di
dalam penulisannya, dan tidak terasa pula adanya keunikan peran individu dalam
mengolah karya itu sehingga karya di atas tak lebih dari sebuah kitsch yang
tidak memiliki nilai sastra.
Perlu kita garis
bawahi bahwa kata-kata dalam sajak mengemban peran yang lebih majemuk, oleh
karenanya pemilihan kata-kata atau diksi dalam sajak haruslah melewati suatu
proses kreatif dan bersifat distingtif yang sanggup mengkomunikasikan pikiran
dan perasaan sekaligus. Kata-kata tidak berhenti sebagai gagasan namun harus
diolah kembali untuk mencapai nilai keindahan atau estetika yang tinggi untuk
sanggup melahirkan sebuah impresi yang utuh dan menyentuh ke dalam diri
pembaca. Impresi atau kesan dapat diperoleh dari aspek bunyi seperti aliterasi
(pengulangan konsonan) atau asonansi (pengulangan vokal), kata-kata tersebut
lebih mengutamakan susunan atas bunyi yang menciptakan efek merdu dalam
pendengaran dan memiliki sifat emotif, yaitu mampu menimbulkan emosi yang
berfungsi sebagai frase yang liris atau musikal. Setiap kata yang dipilih
diharapkan memiliki asosiasi kepada berbagai kemungkinan penafsiran yang dapat
di tinjau dari sensitivitas, intonasi, bunyi, irama, simbol, yang dapat berdiri
sendiri secara otonom atau mempunyai pengertian yang mandiri. Di samping itu
kata di pakai untuk mampu menciptakan sugesti dan mampu membangkitkan suasana
tertentu dalam diri pembacanya
Nilai estetis
kata di dalam sajak itu biasanya merujuk kepada intuisi atau kepekaan dan
pengalaman puitik seorang penyair sehingga mampu menciptakan pengertian kata
dalam dimensinya yang baru, yang lebih segar dan hidup. Dimensi dalam
perspektif yang lebih luas dari makna kata-kata itu sendiri dalam kandungan
pengertiannya yang lama. Nilai kata-kata dalam sajak haruslah fleksibel atau
lentur (plastis) dalam artian tidak semata–mata mengacu pada pengertian
leksikon yang baku, tapi terlebih lagi mampu mewujudkan imaji puitis
penyairnya. Perlu kita garis bawahi sekali lagi bahwa kata-kata dalam sajak
harus memiliki karakter yang otonom dimana kata-kata sanggup berdiri sendiri
secara utuh dan tidak tergantikan oleh kata lain bahkan oleh sinonimnya sekali
pun dalam mendukung impresi sajak itu sendiri, sehingga kata itu tidak bisa
kita hapus atau kita ganti begitu saja tanpa merusak arsitektur bangunan sajak
secara keseluruhan.
Seorang penyair
yang baik akan memusatkan perhatian sepenuhnya pada pilihan kata-kata untuk
menyampaikan pengalaman puitiknya agar tidak terjebak kepada kitsch, slogan, protes,
esai atau bahkan prosa. Di sini perlu kita pahami lebih lanjut perbedaan asasi
antara sajak dan puisi, sebagaimana dinyatakan oleh Putu Arya Tirtawirya,
‘Sajak adalah puisi, tetapi puisi belum tentu sajak’ sebab puisi adalah suatu
pengungkapan secara implisit, samar dengan makna tersirat dimana kata-kata
condong pada artinya yang konotatif sementara sajak adalah apa yang ada dibalik
yang tersirat itu. Sajak adalah cermin tempat manusia berkaca, tampak sosok
dirinya dalam masa lalu, masa kini dan masa depan sekaligus.
Dalam esainya
‘Arti Komunikasi Dalam Sebuah Sajak’ Putu Arya menjelaskan lebih lanjut bahwa di dalam sajak,
kata tidak lagi berfungsi sebagai alat komunikasi semata tetapi sesungguhnya
merupakan lagu penggambaran jiwa sang penyair sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Tatkala berhadapan dengan sajak kita tidak lagi berasosiasi dengan kalimat,
tetapi justru kepada pemikiran, pengalaman, emosi dan cinta. Oleh karena itu
sajak yang baik tidak tampil sebagai sebuah realitas harafiah, ia harus mengandung
misteri, terselubung oleh kabut tipis yang gaib tapi tidak sepenuhnya gelap
atau pelik, harus ada setitik cahaya yang mengantarkan kita pada pemaknaan,
lentik api itu harus terbit untuk merangsang pemikiran dan mampu menggugah
perasaan. Kata-kata dalam sajak dipilih untuk menggugah rasa keindahan dan
sekaligus harus mengandung kejujuran, karena kejujuran adalah elemen penting
dalam setiap karya sastra yang bermutu.
Sajak sebagai
sebuah karya seni harus diciptakan dengan kreativitas yang melahirkan perjalanan
jiwa seorang penyair, dan diksi di pilih dari unsur yang dihayati oleh sang
penyair. Penyair harus dapat menemukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya
dan mengangkatnya menjadi sebuah karya yang sanggup memberi manfaat bagi
kemanusiaan. Budi Darma dalam esainya ‘Perkembangan Puisi Indonesia Mutakhir’
menyatakan bahwa salah satu jaminan yang penting dalam kreativitas adalah
kejujuran penyairnya terhadap apa yang dia kuasai. Boleh dibilang bobot sebuah
sajak dan juga karya sastra lainnya adalah untuk mengungkapkan kebenaran
universal. Dimana dalam sajak, kebenaran itu terbungkus oleh metafora layaknya
sutera tipis yang indah dan halus motifnya. Disitulah tantangan utama bagi
seorang penyair untuk melahirkan sebuah sajak yang bagus, ia harus melewati
sebuah perjuangan kreatif yang tidak mudah. Perjuangan merangkai kata-kata
menjadi suatu kesatuan unikum yang utuh yang mampu menggelorakan perasaan dan
mampu menyentuh kalbu.
Anggapan bahwa
esensi sajak adalah tema atau gagasan dan bukannya kata menjadi gugur dengan
sendirinya manakala kita melihat kenyataan bahwa sajak bukan semata kerja
intelektual tapi lebih merupakan kerja seni, sebagaimana contoh yang pernah
dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa seorang cendekiawan dengan segudang
ide belum tentu dapat dengan mudah menulis sebuah sajak yang bagus dan
berhasil. Bagi penyair seharusnyalah sajak merupakan sebuah proses pencarian,
yaitu sebuah proses mencoba terus menerus dalam usahanya untuk menaklukkan
kata.
Setiap penyair
yang baik pasti memiliki arah dan punya obsesi tertentu dalam berkarya di mana
ia dengan setia dituntut terus menerus mengunyah kata demi kata untuk mencapai
kesempurnaan estetiknya, sekali pun proses itu harus ia lewati berulang kali
dengan susah payah. Mengolah gagasan yang sama terus menerus adalah merupakan
bentuk obsesi, karena kata-kata bisa diciptakan kembali lewat sekian banyak
pendekatan atau diproses kembali melalui segala aspek kreatif untuk mencapai
sebuah impresi yang baru dan lebih segar dengan gaya pengucapan yang lebih
bernas. Oleh sebab itu seorang penyair yang baik pada hakekatnya tidak pernah
berhenti bereksperimen karena setiap bentuk percobaan penulisan pengalaman dan
perenungan ke dalam sajak adalah upaya untuk memperoleh jawaban dari
kegelisahan puitik seorang penyair untuk menemukan kata-kata yang tepat
mewakili perasaan dan isi hatinya
Seperti
dinyatakan pula oleh Budi Darma bahwa tantangan utama seorang penyair adalah
mengasah kreativitas, dan salah satu ciri kreativitas adalah mencari, tetapi
bobot utama kreativitas bukan terletak pada usaha mencari itu sendiri melainkan
terletak pada keakraban terhadap apa yang dia pakai, garap dan temukan. Oleh
sebab itu sudah seharusnya para penyair mengakrabi kata-kata, atau kalau perlu
memperlakukan kata-kata sebagai seorang kekasih karena itu merupakan salah satu
bentuk pendekatan yang efektif agar kata-kata dapat tampil hidup dalam
sajak-sajaknya. Tema memang selalu saja berulang, seorang penyair bisa saja
terus menerus menulis tentang cinta, hidup atau kematian tapi setiap kali pula
ia bisa menghasilkan sajak yang berbeda sama sekali dari karya yang sebelumnya.
Hal ini hanya mungkin berlaku bagi seorang penyair yang mau secara konsisten
mengasah bakat, kepekaan dan pengalaman puitiknya sehingga setiap pengalaman,
kejadian, maupun gagasan pemikiran yang paling sederhana sekali pun dapat ia
ubah lewat inspirasi puitik menjadi sebuah sajak yang bagus tanpa merasa perlu
kehabisan kosa kata.
Pendapat Kami:
Kritik sastra yang telah kami baca di atas sangat mengkritik dan perlu untuk dipelajari dan dipahami. Sebab, kritik sastra yang telah kami baca sangat tepat dengan apa yang telah dilakukan oleh para penyair. Penyair-penyair sekarang hanya bertumpu pada apa yang dialaminya tidak memperhatikan kata-kata yang dia rangkai dalam karyanya. Kata-kata memang sangat menentukan bagus atau tidaknya sebuah sajak atau puisi. Sajak adalah bentuk karya sastra yang sangat mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Maka dari itu, banyak hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sajak jika ingin bagus membuat sajak. Untuk kritik sastra di atas, menjelaskan bahwa kata-kata dalam pembuatan sajak adalah faktor utama yang harus diperhatikan oleh seorang penyair dalam karyanya. Memang benar kritik-kritik yang dilontarkan dalam kritik sastra di atas, bahwa penyair yang bukan penyair sesungguhnya tidak memperdulikan pemilihan kata, tetapi mereka hanya menulis apa yang mereka rasakan. Menurut kami, itu semua belum mendukung untuk menjadi penyair yang hebat. Jika penyair bisa mengombinasikan antara kata-kata, perasaam, dan apa yang dialami penyair, maka akan terciptalah sebuah sajak yang atraktif, kreatif, dan fenomenal.
Kritik sastra yang telah kami baca di atas sangat mengkritik dan perlu untuk dipelajari dan dipahami. Sebab, kritik sastra yang telah kami baca sangat tepat dengan apa yang telah dilakukan oleh para penyair. Penyair-penyair sekarang hanya bertumpu pada apa yang dialaminya tidak memperhatikan kata-kata yang dia rangkai dalam karyanya. Kata-kata memang sangat menentukan bagus atau tidaknya sebuah sajak atau puisi. Sajak adalah bentuk karya sastra yang sangat mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Maka dari itu, banyak hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sajak jika ingin bagus membuat sajak. Untuk kritik sastra di atas, menjelaskan bahwa kata-kata dalam pembuatan sajak adalah faktor utama yang harus diperhatikan oleh seorang penyair dalam karyanya. Memang benar kritik-kritik yang dilontarkan dalam kritik sastra di atas, bahwa penyair yang bukan penyair sesungguhnya tidak memperdulikan pemilihan kata, tetapi mereka hanya menulis apa yang mereka rasakan. Menurut kami, itu semua belum mendukung untuk menjadi penyair yang hebat. Jika penyair bisa mengombinasikan antara kata-kata, perasaam, dan apa yang dialami penyair, maka akan terciptalah sebuah sajak yang atraktif, kreatif, dan fenomenal.
ok thanks ....
BalasHapus